Laman

Minggu, 01 Februari 2015

100 Orang Indonesia Angkat Pena Demi Dialog Papua

100 Orang Indonesia Angkat Pena Demi Dialog Papua
Judul : 100 Orang Indonesia Angkat Pena Demi Dialog Papua
Halaman: xx, 438 halaman
ISBN: 979-8726-49-9
Harga: Rp. 65.000,-
Sinopsis :
Dialog akan sehat dan berguna bila penalarannya didasarkan atas pendapat yang tertulis jelas. Buku ini penalarannya didasarkan atas pendapat yang tertulis jelas. Ia adalah hasil “angkat pena” dari para pemikir andalan kita yang tersebar di seluruh tanah air. Walaupun semua tulisan berkisar pada masalah masyarakat Papua, ia pantas dimanfaatkan untuk mencari dan menemukan solusi ketidakpuasan daerah-daerah lain yang banyak sedikitnya beratur sama. Pembacaan buah pikiran yang beraneka ragam sungguh dianjurkan karena bermanfaat, memungkinkan orang bisa menjadi “lebih luhur”,
“lebih kaya” secara intelektual.Semua gagasan tertulis hasil dari “angkat pena demi dialog Papua” memang by its very nature tertuju pada pikiran yang bersarang dalam benak. Namun berhubung tujuan – akhir dari dialog adalah sesuatu yang praktis, persepakatan di antara pikiran perlu dicapai secara spontan, tidak berdasarkan suatu konsep abstrak bersama, tetapi bersendikan suatu konsep praktis bersama, tidak berdasarkan affirmasi mengenai satu visi yang sama, tetapi bersendikan affirmasi tentang suatu korpus tunggal kepercayaan dalam aksi penanganan masalah yang dihadapi bersama. Hal ini memang belum seberapa, namun ia merupakan benteng yang tersisa dalam benak kita di mana pikiran dapat saling bertemu. Jika perang berawal dalam benak manusia, maka di dalam benak manusia itu harus dibangun benteng perdamaian.
Prof. Dr. Daoed Joesoef (Pemerhati persoalan Papua, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI)
Gejolak yang sudah bertahun-tahun berlangsung di Tanah Papua adalah tanda ada masalah. Ada berbagai cara untuk menyelesaikan masalah yang menggerakkan gejolak itu. Suku-suku bangsa kita mengenal berbagi cara untuk menyelesaikan masalah secara damai. Antara lain mereka kumpul di “rumah- adat” dan berbicara. Mereka duduk di tikar dan berbicara, atau mencetuskan perasaan dan pikirannya tanpa aturan.Sasaran yang dicapai bukan siapa kalah siapa menang, tetapi menerima apa yang perlu dan berguna untuk kita semua. Proses itu kita kenal dengan istilah musyawarah untuk mufakat. Istilah lain, dari budaya lain, adalah dialog.
Dialog tidak gampang antara dua pihak yang nyatanya tidak setara, seperti antara pemerintah dan sekelompok masyarakat, antara pengawal kedaulatan negara dan kaum separatis, atau antara penjaga kebenaran dalam satu agama dan kelompok sempalan. Supaya dialog terlaksana, pihak yang kuat harus berani turun, duduk di tikar bersama yang lain. Lalu buka telinga untuk mendengarkan, buka hati untuk merasakan dan, kalau tiba waktunya, barulah buka mulut untuk bicara. Turun dari kursi ke tikar memang tidak gampang dan tidak enak juga. Berbicara lebih menyenangkan daripada mendengarkan. Tetapi gejolak hati yang gemuruh karena aneka masalah mengharapkan mitra dialog yang telinganya besar dan siap terpasang seperti antena parabola, sehingga bisa menangkap semua getaran gelombang dari hati, juga yang tidak diucapkan.
Dr. Leo Laba Ladjar, OFM (Uskup Jayapura, Papua)
Yang Berminat  Pemesanan bisa sms
Cp : 08122779457 / 081804281351, Pin BB 7D7467BB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar