Laman

Sabtu, 14 Februari 2015

Filsafat Seni

Filsafat Seni
Judul Buku : Filsafat Seni
Penulis : Jakob Sumardjo
Penerbit : ITB
Kota Terbit : Bandung
Tahun Terbit : 2000
Harga: Rp. 80.000,-
Tebal Buku : 372 halaman
Cetakan II: 2016
Ikhtisar
Sebenarnya hanya ada tiga pokok persoalan filsafat seni, yakni seniman sebagai penghasil seni, karya seni atau benda seni itu sendiri, dan kaum penerima seni. Namun, akhirnya berkembang pokok-pokok baru, yakni dari benda seni muncul pokok soal nilai seni dan pengalaman seni, sedangkan dari masalah seniman dan penerima seni akan muncul pokok konteks budaya seni. Dengan demikian, terdapat enam pembahasan pokok yaitu:

Jika Ada Yang Berminat Silahkan Bisa Hubungi ke Cp : 081804281351 / 085713733627, / 08122779457, Pin BB : D2D71BED / WA:088802811233 / 081221679970


1. Pencipta Seni
Persoalan seniman dalam seni menyangkut masalah kreativitas dan ekspresi. Seni adalah sebuah media yang biasa digunakan manusia untuk mengekspresikan sesuatu. Di dalam penggunaanya sedikit banyak menggunakan perasaan yang akan berpengaruh terhadap suatu pencapaian atau hasil karya seseorang. Dalam seni pula, perasaan harus dikuasai lebih dahulu, diatur dan dikelola sedemikian rupa untuk selanjutnya direpresentasikan menjadi sesuatu. Dipersoalkan apakah seni seorang seniman itu harus dinilai dari moralitas senimannya? Apakah karya seni yang dikagumi itu menjadi berkurang nilainya ketika kita tahu bahwa kehidupan moral sang seniman itu payah. Atau sebaliknya, sebuah karya seni yang kurang bermutu menjadi bermutu ketika kita mengetahui senimannya memiliki integritas moral yang hebat. karya seni yang utuh memang diciptakan oleh seniman. Apakah si “karya” harus menanggung beban moral yang dilakukan oleh sang seniman? Atau terus berkiprah tanpa memandang status hukum yang sedang dijalani penciptanya. Dipandang dari sudut ini, tidaklah relevan untuk menghubung-hubungkan sifat seorang seniman yang jahat dengan karya seninya, dengan mengatakan bahwa karya seninya itu tidak ada nilainya. Modal seniman yang utama adalah keotentikannya, baik seniman besar ataupun kecil.
2. Benda Seni
Seni bukanlah benda, melainkan nilai yang dilihat oleh penikmat seni yang terkandung dalam benda tersebut. Nilai itu sifatnya abstrak, hanya ada dalam jiwa perorangan. Nilai itulah yang akhirnya berkembang menjadi sebuah kebenaran yang normatif sesuai dengan masyarakatnya. Benda seni dapat dilihat secara visual dan audio namun tak dapat dicium, inilah kegunaannya dalam mengawetkan perwujudan bentuk nilai. Setiap bahan seni memiliki aspek mediumnya sendiri. Dalam seni sastra, bahannya memang bahasa yang berpokok pada kata. Jadi, bahan seni hanya sekedar alat atau instrumen seniman untuk mewujudkan gagasan seninya agar dapat didindera oleh orang lain.
3. Nilai Seni
Seni memang menyangkut nilai, dan yang dissebut seni memang nilai, bukan bendanya. Nilai adalah sesuatu yang selalu bersifat subjektif, tergantung pada manusia yang menilainya. Oleh karena subjektiflah, maka setiap daerah memiliki nilai-nilainya sendiri yang disebut seni. Namun pada dasarnya setiap nilai seni dari konteks manapun memiliki nilai yang tetap. Terdapat 2 komponen yaitu seni dan keindahan. Keduanya saling berkaitan atau saling menunggangi dalam arti denitatif maupun konotatif. Setiap karya seni mengandung keindahan. Dan keindahan tidak selalu harus senada dengan keindahan secara kasat mata saja.
4. Pengalaman Seni
Pengalaman seni adalah pengalaman yang dialami oleh penikmat seni atau penanggap seni. Seperti pengalaman sehari-hari, maka pengalaman seni juga merupakan suatu pengalaman utuh yang melibatkan perasaan, pikiran, penderitaan, dan berbagai intuisi manusia. Hanya saja pengalaman seni berlangsung dalam kualitas pengalaman tertentu yang kadang-kadang tidak sama dengan pengalaman sehari-hari.
5. Publik Seni
komunikasi seni akan terjadi secara alami, seiring dengan berjalannya waktu dan proses pendewasaan dalam memahami seni tersebut. Di Indonesia masih sedikit sekali peran seorang tokoh yang secara khusus ‘mengkritik’ seni. Banyak yang menulis masalah kritik seni, tetapi sedikit yang diakui sebagai kritikus seni. Pada akhirnya semua akan kembali kepada masalah peran. Seniman dan kritikus tidak dapat dibentuk, dilatih, dan dididik agar diakui statusnya sebagai seniman dan kritikus. Namun peranlah yang utama, yaitu peran yang menghasilkan karya-karya seni dan karya-karya kritik yang berkualitas seperti kualitas yang diharapkan oleh masyarakatnya.
6. Konteks Seni
Setiap karya seni, sedikit banyak mencerminkan setting masyarakat tempat seni itu diciptakan. Secara tidak langsung, seorang seniman yang hidup dalam suatu masyarakat tertentu akan dididik oleh keadaan atau iklim seni di daerah tersebut. Seniman memahami dan menguasai nilai seni dan nilai-nilai lain dalam masyarakat. Pendidikan seni yang didapat langsung dari masyarakat itulah yang mempengaruhi proses penciptaan karya seninya. Sebelum menjadi seorang seniman, seniman adalah bagian dari masyarakat. Melaui proses alamiah tadi seorang masyarakat belajar dan mengembangkan kemampuan berkeseniannya sehingga kemampuannya diketahui, dihargai, dan pada akhirnya mendapat pengakuan dari masyarakat itu sendiri. Dalam konteks lain, seni dapat membentuk manusia dan masyarakat dengan cara yang berbeda, yakni dengan cara ilmu dan teknologi. Ilmu yang membuat manusia berfikir lebih baik dan belajar untuk menemukan sesuatu dan mewujudkannya menjadi sebuah karya atau benda seni yang bernilai.
Intinya, dalam kehidupan bermasyarakat, seni selalu dikaitkan dengan masalah moral. Ada pandangan bahwa seni harus bersendi kepada moral, sementara pandangan lain berpendapat bahwa seni dan moral adalah dua tugas yang berbeda, sehingga seni tak harus dinilai berdasarkan asas moral. Seni mengabdi kepada keindahan, sedangkan moral pada kebaikan. Seni yang sejati sudah barang tentu bermoral, moralnya adalah keindahan itu sendiri, sebab keindahan adalah kebaikan dan kebenaran.
Rizki Fitriyan Hariyadi adalah Anggota UKM Kesenian Unviversitas Jember angkatan 18. Bidang Karawitan. Kuliah di Fakultas Pertanian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar