Model Transformasi Sosial Sektor Informal: Sejarah, Teori & Praksis Pedagang Kaki Lima /IP
Penerbit : Inspire Indonesia, In Trans
Penulis : Ali Achsan Mustafa.Dr.
Tahun Terbit : Cet 1: 2008
Ukuran Buku : 14,5 x 21 cm, Soft Cover
ISBN : 978-979-3580-36-4
Harga : Rp 59.500,-
Yang Berminat Bisa Hubungi ke Cp : 081804281351 / 085713733627, / 08122779457, Pin BB : 52899683 / WA:088802811233
Di kota-kota besar di Indonesia, khususnya di Surabaya tidak sulit menemukan segolongan warga yang dikategorikan sebagai pekerja sektor informal. Di sudut-sudut kota mereka mencari rezeki, memanfaatkan perputaran waktu 24 jam. Mereka antara lain pedagang kaki lima, pedagang asongan/keliling, sopir angkutan kota, buruh lepas, penjual jamu gendong, kuli angkut barang, sampai pembantu rumah tangga.
Pekerjaan mereka sering dianggap kurang produktif karena hanya sekadar mencari makan, tidak untuk memaksimalkan keuntungan. Berpendidikan rendah, miskin, tidak terampil, dan umumnya kaum migran. Terlebih lagi, mereka bekerja tanpa proteksi sosial. Tidak jarang mereka menjadi sasaran penertiban satuan polisi pamong praja karena dianggap liar, sumber kemacetan lalu lintas, muasal kriminalitas, dan pengotor keindahan kota. Padahal, pekerja sektor informal ini ada akibat ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan. Mereka sesungguhnya turut membantu mengurangi pengangguran sekaligus mereduksi kemiskinan karena telah menciptakan lapangan pekerjaan.
Mereka para pekerja di sektor informal, banyak di “cap” sebagai pelaku ekonomi bayangan (shadhow ecanomy), black economy atau underground economy. Demikian pula para pedagang kaki lima telah dipandang sebagai patologi sosial karena kehadiran pedagang kaki lima digambarkan sebagai perwujudan pengangangguran tersembunyi atau setengah tersembunyi atau setengah pengangguran yang luas atau sebagai pekerjaan sektor tersier sederhana yang bertambah secara luar biasa di dunia ketiga. Bahkan pandangan yang lebih buruk lagi terhadap pedagang kaki lima yang memandang sebagai parasit atau sumber pelaku maupun benar benar pelaku kejahatan yang bersama sama dengan pengemis, pelacur dan pencuri yang tergolong dalam rakyat jelata atau semata mata.
Faktanya sejak dahulu hingga sekarang bahkan sampai kapanpun sektor informal tidak akan bisa dihapus atau dihilangkan karena itu pilihan bagi mereka yang menggeluti pekerjaan di sektor informal. Realitas diatas semakin membuat jarak, dikotomis dan menjadikan centang perenang antara yang formal dan informal antara yang legal dan ilegal. Oleh karena itu tepat kiranya jika ada upaya pelembagaan sektor informal sebagai salah satu bentuk pengukuhan terhadap eksistensi pedagang kaki lima dalam pusaran modernitas.
Perlu di ketahui bahwa pedagang kaki lima dalam aktifitasnya telah mengalami berbagai perubahan. Perubahan yang terjadi bukan hanya sekedar mereka beralih profesi melainkan perubahan pola peran, interaksi dan jaringan pedagang kaki lima. Karena perasaan senasib dan sepenanggungan lebih-lebih mereka banyak berasal dari daerah yang sama telah banyak melakukan proses-proses transformasi sosial ekonomi dan budaya terhadap pedagang kaki lima lainnya kaitannya upaya mempertahankan pekerjaan yang menjadi sumber penghidupan. Mereka telah membekali diri bahkan diadvokasi oleh para pegiat sosial agar mereka berani menunjukkan eksistensi sebagai pedagang kaki lima. Mereka juga bergabung melalui paguyuban-paguyuban pedagang kaki lima untuk memperkuat basis gerakan melawan penggusuran. Lebih dari itu mereka juga mulai terlatih melakukan negosiasi-negosiasi dengan pihak keamanan agar mereka tetap berjualan serta berbagi keuntungan dengan pihak lainnya. Dalam aktivitasnya, pedagang kaki lima membangun pola interaksi antar sesama pedagang kaki lima maupun dengan dengan Pembeli. interaksi pedagang kaki lima juga terbangun dengan pemasok barang, lembaga pemerintah, satpol PP, lembaga swadaya masyarakat sebagai sebuah jaringan sosial sektor informal.
Pedagang kaki lima seringkali didefinisikan sebagai suatu usaha yang memerlukan modal relatif sedikit, berusaha dalam bidang produksi dan penjualan untuk memenuhi kebutuhan kelompok konsumen tertentu. Usahanya dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam lingkungan yang informal. Sektor usaha pedagang kaki lima tersebut seringkali menjadi incaran bagi masyarakat dan pendatang baru untuk membuka usaha di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena adanya ciri khas dan relatif mudahnya membuka usaha (tidak memerlukan modal yang besar) di sektor tersebut. sektor informal tidak terbatas pada pekerjaan-pekerjaan di pinggiran-pinggiran kota besar, tetapi bahkan juga meliputi berbagai aktivitas ekonomi yang antara lain ditandai dengan: mudah untuk dimasuki, bersandar pada sumberdaya lokal, usaha milik sendiri, operasinya dalam skala kecil, padat karya dan teknologinya bersifat adaptif, ketrampilan dapat diperoleh di luar sistem sekolah formal, dan tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif karena sektor informal ini dengan bercirikan ukuran usaha yang kecil, kepemilikan keluarga, intensif tenaga kerja, status usaha individu, tidak resmi (illegal/ekstralegal), tanpa promosi, dan tidak ada hambatan masuk
Buku Model Transformasi Sosial Sektor Informal: Sejarah, Teori dan Prakxis Pedagang Kaki Lima ini telah menurunkan narasi grand theory strukturasi Giddens ke dalam pembacaan fenomena empiris sebagai latar naratif dengan memberikan penegasan teori modernisasi dan developmentalism serta kritik teorinya pada aras meso teoretik. Selain itu berbagai kajian empiris terdahulu melalui beragam penelitian yang telah dilakukan para ahli tentang hal yang berkaitan dengan modernisasi dan transformasi sosial di sektor informal secara umum dan khususnya pedagang kaki lima perkotaan, buku teori ini dipakai sebagai titik keberangkatan untuk meletakkan posisi dan mengembangkan analisis lebih lanjut terhadap persoalan pokok yang sedang dikaji dalam memahami fenomena, tranformasi sosial sektor informal pedagang kaki lima perkotaan yang mencakup karakter perubahan yaitu peran, interaksi, dan jaringan sosial.
Penerbit : Inspire Indonesia, In Trans
Penulis : Ali Achsan Mustafa.Dr.
Tahun Terbit : Cet 1: 2008
Ukuran Buku : 14,5 x 21 cm, Soft Cover
ISBN : 978-979-3580-36-4
Harga : Rp 59.500,-
Yang Berminat Bisa Hubungi ke Cp : 081804281351 / 085713733627, / 08122779457, Pin BB : 52899683 / WA:088802811233
Di kota-kota besar di Indonesia, khususnya di Surabaya tidak sulit menemukan segolongan warga yang dikategorikan sebagai pekerja sektor informal. Di sudut-sudut kota mereka mencari rezeki, memanfaatkan perputaran waktu 24 jam. Mereka antara lain pedagang kaki lima, pedagang asongan/keliling, sopir angkutan kota, buruh lepas, penjual jamu gendong, kuli angkut barang, sampai pembantu rumah tangga.
Pekerjaan mereka sering dianggap kurang produktif karena hanya sekadar mencari makan, tidak untuk memaksimalkan keuntungan. Berpendidikan rendah, miskin, tidak terampil, dan umumnya kaum migran. Terlebih lagi, mereka bekerja tanpa proteksi sosial. Tidak jarang mereka menjadi sasaran penertiban satuan polisi pamong praja karena dianggap liar, sumber kemacetan lalu lintas, muasal kriminalitas, dan pengotor keindahan kota. Padahal, pekerja sektor informal ini ada akibat ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan. Mereka sesungguhnya turut membantu mengurangi pengangguran sekaligus mereduksi kemiskinan karena telah menciptakan lapangan pekerjaan.
Mereka para pekerja di sektor informal, banyak di “cap” sebagai pelaku ekonomi bayangan (shadhow ecanomy), black economy atau underground economy. Demikian pula para pedagang kaki lima telah dipandang sebagai patologi sosial karena kehadiran pedagang kaki lima digambarkan sebagai perwujudan pengangangguran tersembunyi atau setengah tersembunyi atau setengah pengangguran yang luas atau sebagai pekerjaan sektor tersier sederhana yang bertambah secara luar biasa di dunia ketiga. Bahkan pandangan yang lebih buruk lagi terhadap pedagang kaki lima yang memandang sebagai parasit atau sumber pelaku maupun benar benar pelaku kejahatan yang bersama sama dengan pengemis, pelacur dan pencuri yang tergolong dalam rakyat jelata atau semata mata.
Faktanya sejak dahulu hingga sekarang bahkan sampai kapanpun sektor informal tidak akan bisa dihapus atau dihilangkan karena itu pilihan bagi mereka yang menggeluti pekerjaan di sektor informal. Realitas diatas semakin membuat jarak, dikotomis dan menjadikan centang perenang antara yang formal dan informal antara yang legal dan ilegal. Oleh karena itu tepat kiranya jika ada upaya pelembagaan sektor informal sebagai salah satu bentuk pengukuhan terhadap eksistensi pedagang kaki lima dalam pusaran modernitas.
Perlu di ketahui bahwa pedagang kaki lima dalam aktifitasnya telah mengalami berbagai perubahan. Perubahan yang terjadi bukan hanya sekedar mereka beralih profesi melainkan perubahan pola peran, interaksi dan jaringan pedagang kaki lima. Karena perasaan senasib dan sepenanggungan lebih-lebih mereka banyak berasal dari daerah yang sama telah banyak melakukan proses-proses transformasi sosial ekonomi dan budaya terhadap pedagang kaki lima lainnya kaitannya upaya mempertahankan pekerjaan yang menjadi sumber penghidupan. Mereka telah membekali diri bahkan diadvokasi oleh para pegiat sosial agar mereka berani menunjukkan eksistensi sebagai pedagang kaki lima. Mereka juga bergabung melalui paguyuban-paguyuban pedagang kaki lima untuk memperkuat basis gerakan melawan penggusuran. Lebih dari itu mereka juga mulai terlatih melakukan negosiasi-negosiasi dengan pihak keamanan agar mereka tetap berjualan serta berbagi keuntungan dengan pihak lainnya. Dalam aktivitasnya, pedagang kaki lima membangun pola interaksi antar sesama pedagang kaki lima maupun dengan dengan Pembeli. interaksi pedagang kaki lima juga terbangun dengan pemasok barang, lembaga pemerintah, satpol PP, lembaga swadaya masyarakat sebagai sebuah jaringan sosial sektor informal.
Pedagang kaki lima seringkali didefinisikan sebagai suatu usaha yang memerlukan modal relatif sedikit, berusaha dalam bidang produksi dan penjualan untuk memenuhi kebutuhan kelompok konsumen tertentu. Usahanya dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam lingkungan yang informal. Sektor usaha pedagang kaki lima tersebut seringkali menjadi incaran bagi masyarakat dan pendatang baru untuk membuka usaha di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena adanya ciri khas dan relatif mudahnya membuka usaha (tidak memerlukan modal yang besar) di sektor tersebut. sektor informal tidak terbatas pada pekerjaan-pekerjaan di pinggiran-pinggiran kota besar, tetapi bahkan juga meliputi berbagai aktivitas ekonomi yang antara lain ditandai dengan: mudah untuk dimasuki, bersandar pada sumberdaya lokal, usaha milik sendiri, operasinya dalam skala kecil, padat karya dan teknologinya bersifat adaptif, ketrampilan dapat diperoleh di luar sistem sekolah formal, dan tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif karena sektor informal ini dengan bercirikan ukuran usaha yang kecil, kepemilikan keluarga, intensif tenaga kerja, status usaha individu, tidak resmi (illegal/ekstralegal), tanpa promosi, dan tidak ada hambatan masuk
Buku Model Transformasi Sosial Sektor Informal: Sejarah, Teori dan Prakxis Pedagang Kaki Lima ini telah menurunkan narasi grand theory strukturasi Giddens ke dalam pembacaan fenomena empiris sebagai latar naratif dengan memberikan penegasan teori modernisasi dan developmentalism serta kritik teorinya pada aras meso teoretik. Selain itu berbagai kajian empiris terdahulu melalui beragam penelitian yang telah dilakukan para ahli tentang hal yang berkaitan dengan modernisasi dan transformasi sosial di sektor informal secara umum dan khususnya pedagang kaki lima perkotaan, buku teori ini dipakai sebagai titik keberangkatan untuk meletakkan posisi dan mengembangkan analisis lebih lanjut terhadap persoalan pokok yang sedang dikaji dalam memahami fenomena, tranformasi sosial sektor informal pedagang kaki lima perkotaan yang mencakup karakter perubahan yaitu peran, interaksi, dan jaringan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar