Penulis
: Taufik Abdulah, Sukri Abdurrachman, Restu Gunawan
Cetakan : 2014
Tebal : xxxiv + 472 hlm
Ukuran
: 16 x 24 cm
Harga : 125.000,-
Harga : 125.000,-
Penerbit
: Obor Indonesia
Deskripsi
:
Presiden
Sukarno, sang Ploklamator, mungkin sangat mencintai kekuasaan, tetapi bukanlah
kekuasaan yang bisa meremukkan keutuhan Negara dan persatuan bangsa. Di saat
kemungkinan itu dirasanya mengancam, ia pun menahan kepedihan betapa sistem
politik dengan ideologi serba revolusioner yang dipeliharanya jatuh berantakan.
Berbagai corak kontradiksi fundamental yang diperkenalkannya telah mengundang
berbagai corak krisis yang menghantui kehidupan bangsa dan Negara. Ketika
semuanya harus berakhir, Demokrasi Terpimpin yang didirikan dan dipimpinnya pun
diejek sebagai “Orde Lama”. Penggantinya telah menampilkan diri sebagai “Orde
Baru”.
Maka sejara kehidupan bangsa dan kenegaraan pun memasuki zaman baru – zaman yang telah ditempa oleh berbagai corak krisis dan konflik, serta dibayangi oleh dendam yang tak mudah terlupakan. Dilandasi hasrat kembali ke idealisme bangsa dan landasan kenegaraan yang otentik, Orde Baru pun memulai karirnya dengan menampilkan diri sebagai representasi Pancasila dan UUD 1945 yang murni. Zaman yang diwarnai kehidupan serba revolusioner diakhiri, dan periode “pembangunan nasional” dan kesetiaan pada keharusan sistem demokrasi – meskipun secara prosedural saja – dimulai dengan penuh semangat. Ketika inilah pemikiran tentang kebijaksanaan sosial-ekonomi yang sempat terabaikan dihidupkan kembali, dan dunia sastra kembali mengarungi lautan imajinasi yang tanpa tepi.
Akhirnya, biarlah renungan pada pengalaman aktual dari masa Orde Baru emberi arti dari kisah “berakhir” dan “bermulanya” rezim kekuasaan dalam dinamika kehidupan bangsa.
Maka sejara kehidupan bangsa dan kenegaraan pun memasuki zaman baru – zaman yang telah ditempa oleh berbagai corak krisis dan konflik, serta dibayangi oleh dendam yang tak mudah terlupakan. Dilandasi hasrat kembali ke idealisme bangsa dan landasan kenegaraan yang otentik, Orde Baru pun memulai karirnya dengan menampilkan diri sebagai representasi Pancasila dan UUD 1945 yang murni. Zaman yang diwarnai kehidupan serba revolusioner diakhiri, dan periode “pembangunan nasional” dan kesetiaan pada keharusan sistem demokrasi – meskipun secara prosedural saja – dimulai dengan penuh semangat. Ketika inilah pemikiran tentang kebijaksanaan sosial-ekonomi yang sempat terabaikan dihidupkan kembali, dan dunia sastra kembali mengarungi lautan imajinasi yang tanpa tepi.
Akhirnya, biarlah renungan pada pengalaman aktual dari masa Orde Baru emberi arti dari kisah “berakhir” dan “bermulanya” rezim kekuasaan dalam dinamika kehidupan bangsa.