GENEALOGI KERUNTUHAN MAJAPAHIT -ISLAMISASI, TOLERANSI, DAN PEMERTAHANAN AGAMA HINDU DI BALI
Penulis : NENGAH BAWA ATMAJA
Jumlah Halaman : XXXIII + 503 HAL
Penerbit : PUSTAKA PELAJAR
Harga : Rp. 88.000,-
auh sebelum Indonesia meniti kemerdekaan, pulau Jawa sebagai salah satu daerah di kawasan Nusantara telah menunjukkan eksistensinya terlebih dahulu sebagai pulau yang memiliki potensi mapan dalam konteks kesuburan alamnya, letak wilayah, maupun kuantitas dan kualitas sumber daya manusianya. Tak pelak, pulau Jawa pun menjadi basis pusat perdagangan dan pertanian yang banyak disinggahi saudagar-saudagar dari negeri seberang. Dalam konteks ini, kerajaan-kerajaan Hindu-Budha Jawa (Singasari, Majapahit dll) memiliki pengaruh dan andil yang cukup besar dalam proses pemantapan dan penataan kepulauan ini, terlebih di daerah timur (Jawa Timur).
Bahkan, di pulau ini pula rencana dan strategi penyatuan wilayah-wilayah Nusantara berlangsung. Adapun pemerintahan terbesar dan terkuat yang pernah berdomisili disini adalah Majapahit. Kerajaan yang didirikan R. Wijaya ini, merupakan simbol kekuatan Pulau Jawa. Di masanya, Majapahit menjadi kerajaan adikuasa yang menguasai Nusantara sekaligus sebagai pionir dari wilayah dan kerajaan lain.
Penguasa (raja) paling sukses mengantarkan Majapahit mencapai puncak kejayaannya adalah Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Keduanya saling bahu-membahu dan bekerja sama membesarkan nama Majapahit dengan melakukan intrik-intrik dan ekspansi kekuasaan. Ihwal inilah yang mendorong para sejarahwan, budayawan, atau para peneliti melakukan observasi untuk mengetahui seluk beluk, misteri, ataupun pesona kerajaan Hindu-Budha Jawa ini, tak terkecuali Nengah −penulis buku ini.
Saking banyaknya para peneliti, keabsahan sejarah Majapahit pun menjadi absurd. Banyak terjadi kontroversi dan silang pendapat. Namun, mereka sepakat bahwa Majapahit adalah satu-satunya kerajaan di Indonesia −Jawa− yang berhasil mempionir dan menyatukan Nusantara ke dalam satu pemerintahan. Berbagai peninggalan sejarah seperti candi, prasasti, maupun situs-situs lainnya −yang sampai sekarang masih ada− menjadi bukti realis akan keagungan kerajaan Majapahit.
Simbol Peradaban
Sebagai kerajaan adikuasa, ternyata tidak serta merta membuat Majaphit lupa diri. Majapahit tetap konsisten melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai daerah bawahannya. Kesejahteraan, keadilan, dan keamanan wilayah selalu diperhatikan. Tindakan positif ini lah yang membuat para daerah bawahan semakin menaruh kepercayaan bahwa Majapahit adalah sosok pemimpin yang bertanggung jawab.Di samping itu, penduduk Majapahit juga taat menjalankan perintah agama (Hindu-Budha). Baginya, agama merupakan simbol kekuatan tak tertandingi yang akan membawa umat manusia menuju kesempurnaan hidup (berlebur dengan tuhan). Semisal, di masa Hayam Wuruk. Perbaikan candi dan prasasti sering dilakukan sebagai tanda taat dan patuhnya kepada sang hiyang, juga sebagai sarana mengenang arwah leluhur yang telah berkorban banyak demi keagungan Majapahit. Hayam Wuruk sangat menjunjung tinggi adat dan nilai agama Hindu.
Pasca keruntuhan Majapahit yang digantikan dengan kerajaan Demak, Islam mulai tumbuh dan berkembang di Jawa. Namun, berkembangnya Islam Demak ternyata tak sedikitpun menyurutkan keagungan nama Majapahit. Bahkan, kerajaan Islam Demak malah mengakui dan menjadikan sistem pemerintahan Majapahit sebagai contoh atau referensi dalam malancarkan strategi kerajaan. Demak menganggap Majapahit sebagai kerajaan pendahulunya (nenek moyang) yang patut dijadikan panutan, meski telah berbeda kepercayaan agama.
Begitupun kerajaan Pajang dan Mataram Islam. Mereka menjadikan Majapahit sebagai simbol motivasi dalam melakukan ekspansi kekuasaan. Jika ditanya, mereka dengan lantang dan penuh percaya diri menyatakan bahwa ia adalah keturunan Majapahit. Sebagai contoh, pasca runtuhnya Majapahit, pusaka-pusaka keraton Majapahit dipindahkan ke Demak, Pajang, lalu ke Mataram Islam. Hal ini sebagai tanda bahwa mereka mengharapkan kerajaannya berkekuatan sebesar kekuasaan Majapahit tempo dulu yang mampu menyatukan Nusantara.
*)Aktif di Lembaga Kajian KeBangsaan (LKKB) Yogyakarta
Editor :Jodhi Yudono