Konfrimasi Pelayanan Terbaru +62 877-4787-7491

Sabtu, 21 November 2015

Economist with Guns: Amerika Serikat, CIA dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru

Economist with Guns: Amerika Serikat, CIA dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru
Judul : Economist with Guns: Amerika Serikat, CIA dan Munculnya Pembangunan Otoriter  Rezim Orde Baru.
Penulis  : Bradley R. Simpson
Tahun   : 2011
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Harga : Rp. 105.000,-
Tebal : x+458 halaman
Stock : 1 Eks
 Yang Berminat Pemesanan bisa sms keCp : 081804281351 / 085713733627, / 08122779457, Pin BB 52899683, WA : 088802838629
Deskripsi:
Berdirinya rezim Orde Baru (Orba) mengganti Orde Lama (Orla) tidak lepas dari peran Amerika Serikat (AS). AS memang sangat berkepentingan terhadap Indonesia, terutama kepentingan ekonomi. Presiden AS Kennedy, tiga hari sebelum ditembak mati di Dallas, Texas, 1963, mengatakan: Indonesia berpenduduk 100 juta dengan kekayaan sumber daya alam yang mungkin lebih besar daripada negara Asia lainnya.
Tidak masuk akal bagi AS untuk mengucilkan sekelompok besar orang yang duduk di atas sumber daya alam ini, kecuali memang ada alasan yang sangat kuat.Bradley R Simpson dalam buku ini mengungkap cukup detail upaya-upaya AS mewujudkan kepentingannya di Indonesia, dengan aneka perdebatan yang ada di AS terkait dengan kebijakannya terhadap Indonesia, sejak era Presiden Eisenhower, Kennedy, hingga Johnson. AS menyebut kepentingannya adalah membangun ekonomi Indonesia. Dana ratusan juta dolar digelontorkan AS untuk itu. Tidak hanya dana, tapi juga menarik para sarjana Indonesia, terutama di bidang ekonomi untuk belajar dan mendapatkan pelatihan di AS. Beberapa jenderal juga ditarik untuk menimba ilmu dan pelatihan di AS. Tapi, sikap pemerintah Indonesia di bawah Soekarno yang cenderung sosialis, condong ke Soviet dan China yang komunis—selain besar dan kuatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri—menjadi batu sandungan utama bagi AS. Sepulang dari kunjungan ke Beijing dan Moskwa pada 1956, misalnya, Presiden Soekarno menyatakan kesiapannya untuk menerima pencapaian-pencapaian yang menonjol, terutama yang bersifat material, di bawah penguasa komunis. Setelah tiga minggu kunjungan ke China pada 1957, Wakil Presiden Hatta menyatakan kegembiraan dan kekagumannya atas apa yang ia lihat selama kunjungannya itu. Pasca-Perang Dunia II, geopolitik dunia terbelah menjadi dua blok besar, yakni Blok Soviet (sosialis-komunis) dan Blok AS (kapitalis). Kedua blok ini saling bersaing memperoleh dukungan negara-negara di dunia, terutama yang sedang berkembang. Inilah era Perang Dingin. AS sangat khawatir Indonesia jatuh ke Soviet, sehingga mengancam kepentingannya. Berbagai upaya untuk mencegah Indonesia agar tidak jatuh ke Soviet pun dilakukan, terutama menyingkirkan Soekarno dan PKI serta mendorong militer untuk mengambil alih kekuasaan. Pada musim gugur 1957, seperti dicatat Simpson, Presiden AS Eisenhower melancarkan salah satu operasi rahasia terbesar dan paling mengerikan selama era Perang Dingin dengan menyediakan dana jutaan dolar dan senjata-senjata modern secara sembunyi-sembunyi untuk para kolonel pembelot pemerintah yang memimpin pemberontakan regional. Pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada tahun 1957 adalah salah satu di antara yang mendapatkan itu. Namun, pemberontakan ini dapat dipadamkan Soekarno. Pascapemberontakan PRRI, Soviet tampil sebagai negara pendonor sekaligus pemasok persenjataan terbesar bagi Indonesia, disusul China. Sementara itu, citra dan martabat AS di Indonesia berada pada titik nadir. Praktis tidak ada pilihan lain bagi AS ketika itu selain melanjutkan program ekonomi dan bantuan militer yang cukup untuk mengembalikan pamor AS di Indonesia. Tak Cukup dengan Singkirkan PKI Memutus hubungan Soviet-Indonesia tidak semata-mata dengan menyingkirkan komunis (PKI), tapi juga bagaimana upaya AS untuk menangani masalah ekonomi dan sosial Indonesia yang sangat serius. Demikian rekomendasi yang disampaikan National Security Council (NSC) pada 1960, menjelang pemerintahan Kennedy.
Di era Soekarno, Indonesia memang tengah mengalami krisis ekonomi yang cukup berat. Meski master plan ekonomi ala Soekarno sudah disusun, dalam pewujudannya kurang teperhatikan, karena Soekarno lebih terfokus pada politik, dengan mengobarkan perang merebut Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. Krisis ini menjadi jalan penting AS untuk mengobarkan propaganda menggulingkan Soekarno. Meletusnya G30S 1965 menjadi puncak perubahan di Indonesia. PKI dituding militer sebagai dalang dari terbunuhnya enam orang jenderal. Sejak itu, praktis militer (Angkatan Darat) mencuat ke permukaan, menggerogoti kekuasaan Soekarno secara perlahan-lahan, dan menumpas habis PKI. AS sangat antusias mendukung militer untuk menumpas orang-orang komunis dengan menyediakan dana, persenjataan, dan alat-alat teknis. Setengah juta jiwa orang komunis tewas dibantai. Militer sendiri yang memimpin pembantaian itu. Pada 1967, kekuasaan Soekarno benar-benar habis, berpindah ke tangan Soeharto. Sejak itu, rezim Orba dengan para ekonom pembangunan yang sudah terdidik di AS, yang dikenal dengan sebutan Mafia Berkeley, menjadi kreator, pemeran, dan penentu arah kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia. Dan AS, di era Johnson, semakin mesra menggandeng rezim baru ini, membangun ekonomi Indonesia dan melakukan modernisasi di segala bidang. Tapi, sayangnya, rezim ini menerapkan model pemerintahan otoriter, sehingga—kata
Simpson—biarpun pembangunan ekonomi Indonesia berjalan baik, tapi pembangunan demokrasi politik sangat buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar